http://bisniskeuangan.kompas.com |
Puluhan tungku-tungku raksasa di Jalan Raya Bongas, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, menjadi saksi naik-turun perekonomian kawasan ini. Di balik debu dan bara, ada banyak cerita di sana. Di ruas jalan yang menghubungkan Cirebon dan Bandung—keduanya masih di Jawa Barat—industri perkapuran pernah menjamur. Tungku-tungku itu saksinya.Tak semua tungku masih menyala sekarang. Yang masih beroperasi pun sudah berusia puluhan tahun.
"Terlalu mahal kalau mau membangun tungku baru," kata Iwan Nirwana, pengelola CV Sumberjaya Kapur, salah satu perusahaan perkapuran yang masih beroperasi di sana, saat dijumpai Kompas.com, Selasa (16/8/2016). Menjulang hingga setinggi 20-an meter, tungku-tungku tersebut memiliki ketebalan sekitar 3 meter. "Semua pakai bata merah. Bisa sampai Rp 1 miliar kalau bikin sekarang," imbuh Iwan.
Saat Kompas.com bertandang ke pabrik ini, batuan putih tampak menggunung. Debu kapur sontak menyambut pula begitu kaki menapaki halaman pabrik. Puluhan pekerja terlihat mengangkat batuan mentah ke puncak tungku. Sebagian pekerja lain berjaga di depan lubang pembakaran di dasar tungku, siap mengeruk batuan matang. Di sisi lain pabrik, tak menempel dengan tungku, belasan pekerja berbagi tugas di sekitar penggilingan batu. Di tungku dan lokasi penggilingan, modifikasi mobil lawas hilir mudik mengangkut batu matang.
Pengolahan
Proses produksi di industri perkapuran ini sebenarnya sederhana. Batuan kapur mentah yang menjadi bahan baku ditaburi garam kemudian dibakar di dalam tungku. Pembakaran butuh suhu sampai 900 derajat Celcius untuk mengubah batuan kapur itu menjadi batuan kalsium oksidan (CaO). Hasil bakaran masak lalu digiling menjadi bubuk CaO.
"Terlalu mahal kalau mau membangun tungku baru," kata Iwan Nirwana, pengelola CV Sumberjaya Kapur, salah satu perusahaan perkapuran yang masih beroperasi di sana, saat dijumpai Kompas.com, Selasa (16/8/2016). Menjulang hingga setinggi 20-an meter, tungku-tungku tersebut memiliki ketebalan sekitar 3 meter. "Semua pakai bata merah. Bisa sampai Rp 1 miliar kalau bikin sekarang," imbuh Iwan.
Saat Kompas.com bertandang ke pabrik ini, batuan putih tampak menggunung. Debu kapur sontak menyambut pula begitu kaki menapaki halaman pabrik. Puluhan pekerja terlihat mengangkat batuan mentah ke puncak tungku. Sebagian pekerja lain berjaga di depan lubang pembakaran di dasar tungku, siap mengeruk batuan matang. Di sisi lain pabrik, tak menempel dengan tungku, belasan pekerja berbagi tugas di sekitar penggilingan batu. Di tungku dan lokasi penggilingan, modifikasi mobil lawas hilir mudik mengangkut batu matang.
Pengolahan
Proses produksi di industri perkapuran ini sebenarnya sederhana. Batuan kapur mentah yang menjadi bahan baku ditaburi garam kemudian dibakar di dalam tungku. Pembakaran butuh suhu sampai 900 derajat Celcius untuk mengubah batuan kapur itu menjadi batuan kalsium oksidan (CaO). Hasil bakaran masak lalu digiling menjadi bubuk CaO.
Penggunaan tepung ini mulai dari campuran pasta gigi, katalis pemutih gula pasir, disinfektan, sampai bahan bata ringan. “Bahan baku batuan kapur kami dapat dari Cirebon. Sedangkan untuk pembakaran, kami (sekarang) manfaatkan gas alam,” ujar Direktur CV Sumber Jaya Kapur 1 Dadang Iskandar, di lokasi yang sama.
Sebelum memakai gas, perusahaa ini pernah pula memakai kayu bakar dan batu bara untuk pembakaran di tungku, seperti yang masih dijumpai di kawasan Padalarang, Jawa Barat. “Beda bahan bakar, beda pula hasilnya," imbuh Dadang. Tak hanya dari hitungan ekonomis, pengguaan gas juga lebih ramah lingkungan.
"Kalau biasanya industri perkapuran menghasilkan polusi asap hitam yang tebal, kami tidak. Gas alam membuat udara hasil pembakaran batu tetap bersih. Kalau pakai kayu bakar dan batu bara, kami bisa-bisa (terus) disamperin tetangga karena terganggu asapnya,” ungkap Dadang. Maklum, kawasan tersebut sekarang sudah padat permukiman, tak seperti ketika awal pabrik-pabrik kapur ini berdiri pada kurun 1950-an.
Industri perkapuran di sini tergolong beruntung. Gas alam tersedia di kawasan itu sejak 1974. Industri tersebut juga menjadi salah satu awal penyaluran gas alam dari Cirebon, yang sekarang dikelola PT Perusahaan Gas Negara (PGN). “Dulu, gas alam dipakai oleh industri (perkapuran) saja belum disalurkan ke rumah-rumah seperti sekarang,” tutur Dadang.
Efisien
Bagi pelaku industri perkapuran, gas alam merupakan bahan bakar yang paling efisien. Selain tidak menimbulkan asap hitam, gas alam tak butuh gudang penyimpanan bahan bakar seperti bila memakai kayu bakar atau batu bara. “Sudah begitu, kayu bakar adanya musiman. Terbayang kan kalau musim kemarau harus mengumpulkan banyak untuk cadangan untuk musim hujan?” tutur Iwan.
Penggunaan gas alam juga mendongkrak produktivitas usaha ini. Perbandinganya, memakai kayu bakar butuh waktu sepekan untuk "memasak" batu kapur. Itu pun, batu kapur matang baru bisa diambil setelah seluruh bara kayu padam dan dingin. Masih pula, peluang hasil "reject" karena baru separuh matang cukup besar. Memakai gas, pembakaran memakan waktu lebih singkat. Bila produksi terus berlanjut, setiap dua jam sudah ada saja batu matang yang bisa "dipanen" lewat lubang pembakaran. Peluag "reject" turun drastis.
“(Pakai gas), seperti keran saja, dibuka kalau mau menyalakan tungku dan ditutup kalau mau mematikan. Penggunaannya tak tergantung musim. Kalau batu di bagian bawah sudah matang bisa langsung dikeruk,” tegas Iwan. Iwan bertutur, industri kapur di Majalengka sudah melewati pasang surut. Ada masa-masa kapur bakar produksi kawasan ini tak bayak diminati orang.
Sekarang, industri kapur di sini mulai marak lagi, seiring penggunaan bata ringan untuk bangunan terus meningkat. “Kalau kata industri bata ringan, kualitas yang kami hasilkan itu sudah di atas rata-rata. Mereka menetapkan hasil bakaran harus setidaknya mengandung CaO 80 persen. Pakai bahan bakar gas, kami bisa menghasilkan tepung kapur dengan kandungan CaO 85 persen," ungkap Iwan. Kepala Seksi Penjualan dan Pelayanan PGN Area Cirebon Satori menambahkan, PGN memberikan harga khusus untuk industri perkapuran di kawasan Bongas ini.
"Selain karena faktor sejarah (penyaluran gas di area Cirebon), industri ini juga masuk kategori pemberdayaan masyarakat setempat. Dengan harga khusus, industri ini juga bisa bersaing," ungkap Satori saat ditemui di lokasi yang sama. Terkait isu lingkungan, Satori menuturkan beberapa waktu lalu ada pemeriksaan kualitas udara di kawasan industri kapur ini. "Hasilnya ternyata bersih, sekalipun ada banyak debu kapur," ujar dia. Saat ini, jaringan gas PGN terus dikembangkan dar Cirebon ke arah Majalengka. Menurut Satori, potensi untuk industri di kawasan tersebut cukup cerah, terlebih lagi bila bandara Kertajati di Majalengka benar-benar terealisasi.
Sebelum memakai gas, perusahaa ini pernah pula memakai kayu bakar dan batu bara untuk pembakaran di tungku, seperti yang masih dijumpai di kawasan Padalarang, Jawa Barat. “Beda bahan bakar, beda pula hasilnya," imbuh Dadang. Tak hanya dari hitungan ekonomis, pengguaan gas juga lebih ramah lingkungan.
"Kalau biasanya industri perkapuran menghasilkan polusi asap hitam yang tebal, kami tidak. Gas alam membuat udara hasil pembakaran batu tetap bersih. Kalau pakai kayu bakar dan batu bara, kami bisa-bisa (terus) disamperin tetangga karena terganggu asapnya,” ungkap Dadang. Maklum, kawasan tersebut sekarang sudah padat permukiman, tak seperti ketika awal pabrik-pabrik kapur ini berdiri pada kurun 1950-an.
Industri perkapuran di sini tergolong beruntung. Gas alam tersedia di kawasan itu sejak 1974. Industri tersebut juga menjadi salah satu awal penyaluran gas alam dari Cirebon, yang sekarang dikelola PT Perusahaan Gas Negara (PGN). “Dulu, gas alam dipakai oleh industri (perkapuran) saja belum disalurkan ke rumah-rumah seperti sekarang,” tutur Dadang.
Efisien
Bagi pelaku industri perkapuran, gas alam merupakan bahan bakar yang paling efisien. Selain tidak menimbulkan asap hitam, gas alam tak butuh gudang penyimpanan bahan bakar seperti bila memakai kayu bakar atau batu bara. “Sudah begitu, kayu bakar adanya musiman. Terbayang kan kalau musim kemarau harus mengumpulkan banyak untuk cadangan untuk musim hujan?” tutur Iwan.
Penggunaan gas alam juga mendongkrak produktivitas usaha ini. Perbandinganya, memakai kayu bakar butuh waktu sepekan untuk "memasak" batu kapur. Itu pun, batu kapur matang baru bisa diambil setelah seluruh bara kayu padam dan dingin. Masih pula, peluang hasil "reject" karena baru separuh matang cukup besar. Memakai gas, pembakaran memakan waktu lebih singkat. Bila produksi terus berlanjut, setiap dua jam sudah ada saja batu matang yang bisa "dipanen" lewat lubang pembakaran. Peluag "reject" turun drastis.
“(Pakai gas), seperti keran saja, dibuka kalau mau menyalakan tungku dan ditutup kalau mau mematikan. Penggunaannya tak tergantung musim. Kalau batu di bagian bawah sudah matang bisa langsung dikeruk,” tegas Iwan. Iwan bertutur, industri kapur di Majalengka sudah melewati pasang surut. Ada masa-masa kapur bakar produksi kawasan ini tak bayak diminati orang.
Sekarang, industri kapur di sini mulai marak lagi, seiring penggunaan bata ringan untuk bangunan terus meningkat. “Kalau kata industri bata ringan, kualitas yang kami hasilkan itu sudah di atas rata-rata. Mereka menetapkan hasil bakaran harus setidaknya mengandung CaO 80 persen. Pakai bahan bakar gas, kami bisa menghasilkan tepung kapur dengan kandungan CaO 85 persen," ungkap Iwan. Kepala Seksi Penjualan dan Pelayanan PGN Area Cirebon Satori menambahkan, PGN memberikan harga khusus untuk industri perkapuran di kawasan Bongas ini.
"Selain karena faktor sejarah (penyaluran gas di area Cirebon), industri ini juga masuk kategori pemberdayaan masyarakat setempat. Dengan harga khusus, industri ini juga bisa bersaing," ungkap Satori saat ditemui di lokasi yang sama. Terkait isu lingkungan, Satori menuturkan beberapa waktu lalu ada pemeriksaan kualitas udara di kawasan industri kapur ini. "Hasilnya ternyata bersih, sekalipun ada banyak debu kapur," ujar dia. Saat ini, jaringan gas PGN terus dikembangkan dar Cirebon ke arah Majalengka. Menurut Satori, potensi untuk industri di kawasan tersebut cukup cerah, terlebih lagi bila bandara Kertajati di Majalengka benar-benar terealisasi.
Sumber :
Kompas. 2016. Sejumput Cerita dari Balik Debu dan Bara di Majalengka. Diakses tanggal 1 September 2016. Link ; http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/08/26/163007626/sejumput.cerita.dari.balik.debu.dan.bara.di.majalengka
Posting Komentar
Posting Komentar