-->

KH Abdul Chalim: Pendidik dan Tokoh Nahdlatul Ulama yang Diusulkan Sebagai Pahlawan Nasional

 

KH Abdul Chalim Leuwimunding, Majalengka, Jawa Barat

MAJALENGKA UPDATE - KH Abdul Chalim adalah seorang pendidik dan tokoh penting dalam Nahdlatul Ulama (NU). 

Usulan untuk menjadikannya sebagai pahlawan nasional menegaskan keberartian perannya dalam perjuangan agama, pendidikan, dan kemerdekaan. 

Sebagai pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah dan pendiri Institut Pesantren KH Abdul Chalim, beliau telah berkontribusi dalam membangun sentra pendidikan dan kebudayaan.

 Kiai Chalim juga merupakan kawan akrab KH Abdul Wahab Hasbullah, salah satu pendiri NU. 

Dedikasi beliau dalam pergerakan NU, peran sebagai pengajar, dan komitmen dalam memajukan kaum Muslim membuatnya menjadi sosok inspiratif yang pantas diusulkan sebagai pahlawan nasional.

KH Abdul Chalim, ayah dari KH Asep Saifuddin Chalim, merupakan seorang tokoh penting dalam dunia pendidikan dan pergerakan Nahdlatul Ulama (NU).

 Beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah di Pacet Mojokerto dan Surabaya. Nama sang ayah juga diabadikan sebagai nama kampus yang berada di bawah naungan pesantrennya, yaitu Institut Pesantren KH Abdul Chalim.

 Melalui kampus tersebut, Kiai Asep bermaksud membangun sentra pendidikan dan kebudayaan di lembaga pendidikannya.

Sosok Kiai Chalim merupakan seorang kawan akrab dari KH Abdul Wahab Hasbullah, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU). 

Beliau dilahirkan pada bulan Juli 1898 di Leuwimunding, Majalengka, Jawa Barat. Ayah Kiai Chalim bernama Mbah Kedung Wangsagama dan ibunya bernama Nyai Suntamah.

Masa kecilnya dihabiskan dengan belajar di Sekolah Raja, sebuah sekolah umum yang diikuti oleh kalangan tertentu pada masa penjajahan Belanda. Kiai Chalim menempuh pendidikan di sekolah tersebut selama dua tahun.

Setelah itu, Kiai Chalim memilih untuk nyantri (menuntut ilmu agama) di beberapa pesantren, antara lain Pesantren Barada Mirat Leuwimunding, Pesantren Trajaya, Pesantren Kedungwuni Kadipaten Majalengka, dan Pesantren Masantren Cirebon.

 Pada tahun 1914, saat berusia 16 tahun, Kiai Chalim mengikuti jejak kedua pamannya, H Ali dan H Jen, untuk melaksanakan ibadah haji di Mekkah al Mukarromah. Di sana, beliau berkesempatan bertemu dengan KH Abdul Wahab Hasbullah.

Kiai Asep, yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu), dalam buku 'Kiai Besar Bin Kiai Besar Yang Berfikir Besar' karya Djoko Pitono dan Achmad Lazim Saudi, menceritakan bahwa ayahnya dan KH Wahab Hasbullah saling belajar dan berdiskusi setiap hari mengenai upaya memajukan kaum Muslim di Indonesia. 

Keduanya juga memiliki komitmen yang sama dalam memperjuangkan Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) dan kemerdekaan Republik Indonesia (RI). 

Namun, perubahan politik di Arab Saudi saat terjadinya Perang Dunia Pertama membuat Kiai Chalim tidak nyaman, sehingga beliau memutuskan untuk kembali ke tanah air.

Setelah pulang, Kiai Chalim membantu ayahnya yang saat itu menjabat sebagai kepala desa. Namun, rindu akan teman dan gurunya, KH Abdul Wahab Hasbullah, mendorong Kiai Chalim untuk menemui Kiai Wahab dengan berjalan kaki.

 Menurut buku 'Kiai Besar Bin Kiai Besar Yang Berfikir Besar', pada tanggal 22 Juni 1922, Kiai Chalim akhirnya berhasil bertemu dengan KH Wahab.

 Kiai Wahab memberikan kepercayaan kepada sahabatnya tersebut untuk mengajar di Nahdlatul Wathon yang berlokasi di Kawatan IV Surabaya. 

Selain menjadi pengajar, Kiai Chalim juga dipercaya sebagai pengatur administrasi dan inisiator berbagai kegiatan di Nahdlatul Wathon.

Kehadiran Kiai Chalim memiliki peran penting dalam sejarah NU. Pada saat berdirinya Komite Hijaz, beliau menjadi komunikator kunci antara para ulama di seluruh Jawa. 

Kiai Chalim juga bertanggung jawab dalam menyusun surat undangan dan mengantarkan undangan kepada seluruh Kiai di Jawa untuk menghadiri rapat Komite Hijaz.

Ketika Nahdlatul Ulama membentuk kepengurusan pertamanya, Kiai Chalim menjabat sebagai wakil katib di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). 

Beliau selalu hadir dalam momen-momen penting NU, termasuk dalam perang 10 November 1945 di Surabaya yang dimulai dengan Resolusi Jihad KH Hasyim Asy'ari. 

Pada tahun 1958, Kiai Chalim juga menjadi pelopor dalam pembentukan Pergunu.

Kiai Chalim terus berjuang dan berkontribusi bagi NU hingga beliau wafat pada tanggal 11 April 1972. 

Warisannya sebagai seorang pendidik dan tokoh NU yang berdedikasi tetap dikenang dan dihormati oleh komunitas NU. 

Melalui Institut Pesantren KH Abdul Chalim, yang diambil dari nama sang ayah, Kiai Asep Saifuddin Chalim meneruskan semangat ayahnya untuk membangun sentra pendidikan dan kebudayaan di lembaga pendidikannya, serta terus mengabdikan diri dalam memajukan kaum Muslim dan NU di Indonesia.

Kisah perjalanan hidup dan peran Kiai Chalim sebagai pendidik dan tokoh NU menunjukkan dedikasi dan pengabdian yang tinggi dalam memperjuangkan agama, pendidikan, dan kemerdekaan. 

Beliau merupakan sosok inspiratif bagi generasi NU dan masyarakat Indonesia secara umum, yang mewariskan nilai-nilai keilmuan, keagamaan, dan perjuangan yang masih relevan hingga saat ini. (Sumber : NU Jatim)

0 Comments for "KH Abdul Chalim: Pendidik dan Tokoh Nahdlatul Ulama yang Diusulkan Sebagai Pahlawan Nasional"

Kerjasama Media Partner

Bagi komunitas, Sekolah, Pelaku Usaha, Organisasi yang ingin bekerjasama dengan Majalengka Update, Kirimkan materi Anda dalam Ms. Word terdiri dari 500 kata berita dan menyertakan foto kegiatan. Kirim ke : auxter.magazine@gmail.com Tuliskan keterangan Subjek dengan : Pubhlikasi Media Partner.
Back To Top